favorites

  • Writing, chatting, socializing

Kamis, 16 Februari 2012

Make a News


Waktu lagi rekruitmen berbagai UKM, gue bingung mau masuk yang mana dan akhirnya hasil berpikir tujuh hari tujuh malam nggak tidur-tidur... (Lebay benjeeet). Gue mtusin buat masuk LPM Visi (Lembaga Pers Mahasiswa) after passing many steps ceileee... sampe lah pada tahap simulasi produk (yaapp.. gampangnya buat berita gitu dalam bentuk buletin, isine minimal 3 berita dan tambahan apresiasi seni)... berbekal kemampuan seadanya kami (red: gue dan lima orang tmen gue) melakukan proses pembuatan berita yang penuh suka duka, canda tawa, kecewa dan gembira. Dan ini dia salah satu berita (amatiran) yang menghantarkan kami menjadi anggota LPM VISI. Memorable sekali.. hiks


UKM Bagi Mahasiswa, pentingkah???

Banyaknya UKM yang ada di FISIP merupakan suatu keunggulan dibanding Fakultas lain. Namun, dengan banyaknya UKM bukan berarti minat mahasiswa terhadap UKM juga tinggi. Padahal UKM berperan penting  untuk membentuk pola pikir mahasiswa.
Seperti yang dikatakan oleh Pembantu Dekan III Dra. Suyatmi, MSi yang membawahi bidang kemahasiswaan, mahasiswa disarankan minimal mengikuti satu UKM. ”UKM merupakan wadah yang bagus untuk mengembangkan daya kreativitas mahasiswa, baik di bidang bakat yang dimiliki,  kepemimpinan, kerja sama, ,kompetisi, bagaimana berorganisasi yang baik, itu semua ada dalam UKM.” Ujar Suyatmi saat ditemui di ruangannya (27/9).
Mahasiswa sendiri minimal harus mengantongi 50 kredit point untuk ujian skripsi, tapi dengan mengikuti UKM mahasiswa dapat sedikit mencicil kredit point. Berdasarkan perhitungannya pengurus UKM mendapatkan 15 kredit point dan anggota 10 kredit point. Kegiatan mahasiswa sendiri juga mempunyai kredit point. Misalnya, mengikuti seminar lokal 10 kredit point, seminar nasional 15 kredit dan internasional 20  kredit point. Dan kegiatan-kegiatan lainnya juga menpunyai kredit point tersendiri.
Kalau per mahasiswa 50 kredit point minimal, maka termasuk sangat ringan untuk dicapai mahasiswa. Oleh karena itu, dianjurkan bagi mahasiswa untuk mengikuti UKM agar mendapat kredit point. Di samping itu, mahasiswa mempunyai kegiatan yang berguna untuk membentuk pola pikir yang lebih terbuka jika mengikuti UKM.
FISIP memiliki 18 UKM dan DIKTI mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk pengembangan UKM. DIKTI sendiri pada tahun ini mengucurkan dana sekitar 30 juta untuk 18 UKM yang ada di FISIP. Jumlah ini sempat menjadi problematika karena DIKTI akan mengurangi biaya pengembangan UKM untuk rencana beasiswa bidik misi.
Namun Suyatmi menegaskan jika biaya pengembangan dari DIKTI tidak akan berkurang pada tahun ini. ”Mahasiswa sudah mengadakan rapat dan sudah tersedia anggaran dana seperti pada tahun 2010, yaitu 30 juta.”
Walaupun UKM merupakan sesuatu yang penting, namun tidak menjadikannya prioritas utama, karena sesungguhnya tugas mahasiswa adalah belajar. Seperti juga yang diungkapkan Suyatmi, mahasiswa harus pintar mengatur waktu dengan baik agar tidak menggangu kegiatan perkuliahan selama mengikuti UKM.
UKM Menurut Pandangan Mahasiswa
Pentingnya UKM bukan saja hanya diungkapkan Pembantu Dekan III saja, tetapi juga para mahasiswa baru. “UKM itu sangat penting bagi mahasiswa karena UKM itu melatih kita untuk berorganisasi ,menambah relasi , dan membantu kita menggali talenta yang ada di dalam diri kita”. Ujar Fransisca Puspita, mahasiswa baru prodi Ilmu Komunikasi UNS.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dede, salah satu mahasiswa Ilmu komunikasi angkatan 2010. Bahkan Ia mengikuti tiga UKM sekaligus. ”UKM sangat penting untuk menunjang kegiatan perkuliahan mahasiswa. Karena mahasiswa mempunyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan. Selain itu, hal-hal yang kita dapatkan dari UKM dapat diaplikasikan ke  dalam perkuliahan maupun kegiatan sehari-hari, meskipun UKM menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Itulah yang dinamakan pengorbanan,” terangnya.
Selain memiliki pengaruh positif bagi mahasiswa, UKM juga mempunyai dampak negatif. ”Mengikuti UKM itu penting namun jika mahasiswa tidak dapat mengatur waktu dengan baik maka prestasi akademiknya dapat menurun”, ungkap Dikha Pistiyati, salah satu mahasiswa baru prodi Ilmu Komunikasi.

Citizen Journalism


Citizen journalism itu apa sih?? Pertamanya gue juga wondered banget, want to know gitu hehehe. For acknowledging, gue pertama kali dengar kata citizen journalism itu waktu ospek jurusan (red:Mediasi)... oke gue gaptek banget ternyata. Jadi pada acara ospek jurusan tersebut akan ada diskusi panel dan kita dibagi dalam beberapa tim untuk beradu argumen tentang beberapa tema (waktu itu ada tema new media, literasi media, citizen Journalism, online shop, dll- hehee lupa lainnya). Tapi beruntungnya bukan cuma gue yang gaptek temen-temen gue ternyata juga gak tau tentang citizen journalism, lumayan lah ada temennya. Akhirnya gue nyari informasi ke kakak tingkat tentang apasih citizen journalism itu, akhirnya dikasih tau deh plus di kasih tau juga referensinya. Singkatnya kan ada beberapa hari buat persiapan gitu kan ngumpul-ngumpul dulu lah sama anggota tim nyatuin argumen, gue dengan bekal ilmu kakak tingkat pun beraksi dengan sok taunya plus pamer referensi buku yang judulnya “Journalism” dan tebalnya naudzubillah deee :D (padahal gak gue baca, ujung2nya googling.. maap2 teman kekeke).
            Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba dan diskusi panel pun dimulai tim gue sama tim lawan dapat giliran terakhir maju nih, hahaha tapi yang bikin diskusi panel ini tak terlupakan adalah ke-kepo-an tim gue dan tim lawan+ke ngantukan audience yang bikin sumpaaaah ini bener2 debat kusir. Kite kan bahas citizen journalism eeeh malah pada mbahas tentang siapa yang nulis suratnya prita (red­­-itu lhoo prita vs RS OMNI yang dulu heboh itu). Sumpaaah gue pengen ngakak guling-guling liat aksi salah satau temen setim gue sama tim lawan yang bahas siapa yang nulis/ngirim suratnya prita (dan sumpaaah gue nggak peduli siapa yang nulis, intinya diskusi gagal malah jadi bahas suratnya prita wkkwkwwkwk)

Ini dia sepenggal tulisan tentang citizen journalism yang pengen gue share ke semuanya...

CITIZEN JOURNALISM


Saat ini pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan media mengalami
pergeseran penting sebagai akibat dari perkembangan dua hal, yaitu perkembangan jurnalistik dan perkembangan media. Dunia jurnalistik kini mengalami perubahan. Dulu, reportase adalah tugas khusus yang dibebankan kepada wartawan atau reporter media massa. Sekarang setiap warga bisa melaporkan peristiwa kepada media. Inilah yang kemudian disebut citizen journalism, participatory journalism, atau ada juga yang menyebutkan open source journalism. Lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi stimulasi dan dibarengi dengan jaminan kebebasan pers dalam menyajikan berita, masyarakat umum dapat turut menyampaikan kejadian yang memiliki nilai berita. Inilah yang sering kita kenal dengan istilah citizen journalism atau jurnalisme warga.

Citizen journalism memiliki banyak kelemahan, dan berikut adalah berbagai kelemahan citizen journalism :

1.      Adanya kebebasan berpendapat yang cenderung tidak bertanggung jawab.
Hal ini merupakan kelemahan besar dari fenomena citizen journalism. Seorang jurnalis yang professional dan memang bernaung dalam sebuah lembaga yang legal di mata pemerintah dan publik, akan lebih bertanggung jawab dalam hal penyampaian pesan yang ia terima untuk di transfer ke khalayak ramai. Berbeda mungkin dengan kebanyakan dari citizen journalism yang hanya mementingkan keperluan pribadinya saja, tanpa memikirkan lebih lanjut tentang dampak dari berita yang ia siarkan, atau bahkan tanggung jawab apa yang dia emban setelah menuliskan berita itu.
Contoh konkret dari hal ini misalnya. Seseorang menaruh tulisan provokatif tanpa klarifikasi terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang bersangkutan sehingga membuat adanya ketidakstabilan kondisi yang terjadi.
Seorang wartawan, pada umumnya akan lebih memerhatikan masalah tersebut. Meski wartawan pun bisa memprovokasi, tetapi dia tetap memprovokasi secara bertanggung jawab dan dalam konteks yang tepat misalnya melalui rubrik opini dalam sebuah surat kabar. Karena dia berada dalam sebuah tatanan hukum yang mengikat.
Dengan adanya kebebasan yang kadang kebablasan ini juga, akhirnya banyak tindakan-tindakan kriminal yang terjadi. Semakin bebas mengeluarkan pendapat, semakin banyak pula kesempatan untuk terjadinya jurang-jurang yang mendalam antara pihak satu dengan pihak yang lainnya.
2.      Adanya penyampaian berita yang tidak memenuhi atau melanggar kode etik jurnalistik ,dan sifat informasi yang sering tidak bermanfaat serta berat sebelah (subyektif).
Pelanggaran kode etik jurnalistik biasanya meliputi :
·         Plagiatisme
·         Tata aturan bahasa yang tidak formal
·         Kebebasan informasi tidak terkontrol, seperti tidak ada batasan langsung berita mengenai kelayakan dan ketidak layakan

3.      Tidak adanya latar belakang jurnalisme sehingga beritanya tidak terstruktur.
Karena tidak memiliki latar belakang jurnalisme sehingga berita yang disuguhkan tidak memenuhi nilai-nilai berita dan syarat-syarat berita (5W+1H), sehingga struktur dari berita yang baik tidak terpenuhi.

4.      Keakurasian berita yang dibuat masih dipertanyakan.
Berita yang dihasilkan oleh jurnalisme warga tidak memiliki ketepatan. Penyelidikan terhadap berita kurang mendalam sehingga akurasi berita dipertanyakan. Ketidak akuratan informasi tersebut dapat menjadi boomerang bagi penulis berita tersebut karena dapat mengarah kepada berita bohong, fitnah, pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan.



5.      Persebaran informasi tidak merata.
Biasanya berita yang dibuat oleh citizen journalism ditampilkan melalui media elektronik. Jadi tidak semua kalangan bisa mengakses informasi dari citizen journalism contohnya masyarakat kalangan bawah dan masyarakat pedalaman.

6.      Merusak kredibilitas jurnalistik, karena tidak adanya verifikasi informasi
Jurnalisme warga hanya sekedar menulis berita tanpa mempertanggungjawabkan dampak yang ditimbulkan, istilahnya mereka tidak memverifikasi berita yang mereka suguhkan. Berbeda dengan jurnalis profesional mereka menyediakan rubrik bagi pembaca untuk memverifikasi informasi yang mereka berikan.
Berikut adalah beberapa isu yang mencuat terkait Citizen Journalism:
  1.  Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
  2. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
  3. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
  4. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.
Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna.

Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan). Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.
  1.  Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
  2. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
  3. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
  4. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.











NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pasal 21
pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak
yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung
jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik
yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan
informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.